Hari ini, hari pertama si mbarep naik motor sendiri ke sekolah. Boleh ya Mak curcol.
Sejak masuk usia 16 tahun, suami mulai melatih Ical, anak sulung kami, untuk bisa naik motor sendiri. Tentu saja, persiapan nantinya bisa ke sekolah, kemana-mana sendiri. Tidak tergantung Bundanya, apalagi Ayahnya yang jarang di rumah, tidak bergantung juga dengan abang-abang ojol, yang kalau dihitung-hitung pasti lebih murah dan fleksibel bawa kendaraan sendiri.
Honestly, saya sempat tidak tega. Mmm, apa tidak ikhlas ya? Padahal, dengan si kakak bisa bawa motor sendiri, saya juga lebih lega waktu pagi harinya. Seperti hari ini, sambil menunggu Aga (2,4y) bangun tidur, saya bisa menulis blog setelah selesai mengaji, siapin sarapan, dan sempat baca buku beberapa bab.
Padahal ini juga yang saya harapkan dari dulu, saat tiba waktunya anak bawa kendaraan sendiri ke sekolah. Kenapa mesti worry? Lha wong dulu saja, saya bawa motor ke sekolah itu usia 15 tahun, gara-gara kepepet tidak tahu harus bergantung ke siapa. Papah sudah meninggal, kakak-kakak kerja di Jakarta, dan waktu itu jarak SMA dan rumah cukup jauh, dengan transportasi umum yang masih cukup sulit.
“Ya kan, jaman dulu, jalanan belum seramai sekarang, apalagi itu di Jogja, Na!”, bisik batin saya yang sempat ragu melepas si kakak naik motor sendiri pergi-pulang sekolah.
Dalam bukunya “Maukah Jadi Orangtua Bahagia”, Bu Isha, dr. Aisyah Dahlan, bertutur bahwa,
memang fitrahnya seorang Ibu itu tidak tegaan, karena sifat lemah lembutnya. Sementara Ayah diciptakan Allah dengan ketegasannya, jadi lebih bisa tega ke anak-anak.
Saat saya menyiratkan kekhawatiran tentang Ical yang akan naik motor sendiri, sangat jelas terlihat kalau suami “fine-fine saja”.
Yang bikin saya sempat khawatir adalah kondisi jalanan pagi hari (tau sendiri lah ya) jakarta yang meskipun ini jakarta coret, tapi sudah macet luar biasa. Saya yang biasa antar anak-anak ke sekolah naik mobil, harus fokus luar biasa ketika anak memasuki jalur putar balik karena memang sebegitu padatnya.
“Lihat tuh Na, anak-anak usia SMP bahkan SD bersliweran naik motor layaknya pro! So, you don’t have to be worried. Your son is enough. Usianya cukup dan kematangan psikologisnya memang sudah pas untuk bawa motor sendiri”.
Ya, Ical sudah 17 tahun, secara ukuran psikologis memang inilah usia pantas untuk membawa kendaraan sendiri. Sudah matang, tidak seperti anak-anak di bawah umur yang “berasa main game” setiap naik motor. Pemikiran inilah yang kemudian memantapkan saya, melepaskan nak mbarep berangkat sendiri ke sekolah.
“Alhamdulillah Nda nyampe Nda”.
WA si kakak di jam 5.43 pagi ini. Kurang lebih 20 menitan sejak keberangkatannya dari rumah. Ical sengaja memutuskan berangkat lebih pagi, dengan harapan kondisi jalanan belum terlalu padat.
“Tadi keknya aku kurang mepet pas muter balik, jadi ada yang ngebel”, ceritanya kemudian melalui chat.
Nah, disinilah saya lalu sangat bersyukur karena memberikan kesempatan Ical bawa motor ke sekolah hari ini. Kesempatan ini, membuatnya jadi belajar banyak hal secara langsung tentang kondisi jalanan. kondisi psikologis pengguna jalan di Jakarta, yang kadang beberapa diantaranya tidak sabaran. Ada yang hobby pencet bel, ada yang hobby nyalain sign mepet-mepet belok, dan keunikan karakter pengguna jalan lainnya.
Kecemasan ini, setelah saya ingat-ingat kembali, pernah saya rasakan saat melepas Ical hari pertama naik sepeda sendiri jaman masih sekolah di Jogja dulu. Dan saya juga yakin, rasa ini bisa terulang lagi, saat nantinya melepas Ical kuliah di kota atau negara dimana Allah ijinkan.
Cemas campur bangga, bahagia dan kelegaan luar biasa. Mendidik anak memang selalu dipenuhi polemik rasa yang makin melengkapkan hari-hari kita sebagai Ibu.
Selamat Ya Kak, sudah berhasil bawa motor pertama kali ke sekolah 🙂