Menjadi Ibu Yang Ikhlas
Astaghfirullahaladzim.
Kalimat ini yang sering diajarkan oleh banyak pemuka agama, dan saya kembali menemukan melalui buku Ibu Aisyah Dahlan. Betapa kalimat sederhana ini, yang hanya butuh 1 tarikan nafas untuk diucapkan, mampu menjadi salah satu release terbaik.
Ya, release, pelepasan. Seorang Ibu perlu melepaskan banyak hal tiap harinya. Melepaskan untuk meraih level keikhlasan. Ikhlas untuk apa?
Ikhlas melepas kepergian suami bekerja ke luar kota, yang dalam pengalaman saya pribadi, butuh berminggu-minggu tidak berada di rumah. Artinya ketika suami tidak ada, saya menjadi “komandan” di rumah yang bertanggungjawab sepenuhnya.
Ikhlas melepas anak-anak bermain dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Memasrahkan pada Allah semata, dan memohon anak-anak berada dalam circle pertemanan yang baik.
Proses release ini juga termasuk melepas si kakak mulai naik motor sendiri ke sekolah. Yang ternyata, 2 hari yaitu rabu dan kamis ketika ia membawa motor, kejadian putar balik yang pernah saya khawatirkan, terjadi.
Pengalaman beberapa kali membonceng Ical, saya sering mengingatkan, karena ketika putar balik masih belum smooth dan cenderung “ngeloyor” belum sepenuhnya memperhatikan kendaraan lainnya dengan seksama.
Astaghfirullahaladzim. Artinya saya belum ikhlas. Ya Allah, jadikan aku Ibu yang ikhlas.
Hari kedua, Sasha ikut membonceng kakaknya pergi ke sekolah. Ical yang awalnya berencana berangkat jam 5.15, ternyata mengalah pada keinginan adiknya yang ingin berangkat jam 5.30. Jalanan lebih ramai pasti. Sebelumnya saya sempat menawarkan, apakah saya saja yang mengantar Sasha, sementara Ical pergi sendiri saja dahulu. Toh, ini baru hari kedua membawa motor sendiri ke sekolah, pasti butuh penyesuaian lagi, apalagi harus menggendong tas di depan, berbeda ketika naik motor sendiri.
Ical, si sulung yang memang sangat pengertian dan baik hatinya ini, bilang, “Gak papa, sama aku aja berangkatnya. Lebih hemat daripada 2 kendaraan pergi semua”. Ya Allah Kak, terbuat dari apa hatimu, sering bikin Bundanya ini terharu dengan keputusan yang hampir selalu melibatkan kebaikan.
Putar balik hari pertama, saat Ical pergi sendiri, ia sempat “di-bel” oleh motor lainnya. Ia bercerita masih terlalu ke tengah saat manuver mencapai jalur putar balik. Ternyata, hal ini juga masih terjadi di hari kedua. Ditambah dengan ada yang membonceng dan tas cukup berat di depan, tentu saja Ical butuh adaptasi lagi.
“Bunda, emang Kakak udah latihan naik motor di jalan besar ya?”, tanya Sasha saat saya jemput sekolah siang harinya. “Aku takut, tadi pas putar balik, hampir kena mobil. Sama-sama ngerem kan kakak sama si mobilnya. Terus kita dikejar, dipepet sama mobilnya. Sopirnya juga ngata-ngatain”, jelas Sasha kemudian.
Astaghfirullahadzim. Astaghfirullahaldzim.
Bantulah hambamu ini, menjadi Ibu yang ikhlas, ibu yang tenang. Vibrasi seorang Ibu, menjadi 3x lipat ke anaknya. Ibu tenang, anak 3x lebih tenang.
Yang perlu saya lakukan sekarang adalah meminta tolong ke suami untuk melatih lagi si kakak, kali ini di jalan raya besar. Ya, Ical perlu latihan lagi. Perlu lebih banyak jam terbang bawa motor di jalanan yang lebih ramai.
Memang karakter bapak-bapak ya, kelihatannya tenang-tenang saja. Kadang gemes saya tuh. Ketika Ical sudah mulai bisa naik motor, suami cuma memonitor saja. Padahal maksud saya, latihlah ke jalan-jalan besar. Apalagi motor pertama Ical ini motor yang ukurannya besar.
Heiii heiiii Na! Istighfar!
Astaghfirullahaladzim. Ya Allah, angkat kecemasanku ini. Lindungilah anak-anakku dari segala marabahaya, berilah keselamatan dimanapun mereka berada.
Hanya dengan dzikir dan doa, seorang Ibu lebih tenang, lebih ikhlas, lebih pasrah.