Menulis Buku Ternyata (Tidak) Semudah Tersenyum
Setelah seminggu lebih tidak menyentuh blog ini, finally I’m backkkkkkk!!!!
Duh, ah, mesti pakai banyak tanda pentung. Sebagai tanda memang niatnya tiap hari bisa nulis di blog. Tapi ternyata ya, sibuk coi!
Wedeh, sibuk apa deh. Cuma nyempetin 10-15 menit loh update blog itu.
Jawabannya, sibuk mengendalikan fokus menulis. Ya, sejak gabung dengan tinta langit untuk menulis karya buku solo, rupa-rupanya menyita waktu tersendiri. Waktu dimana saya bisa menulis curahan hati dan hari melalui blog, saya alokasikan untuk menambah target halaman buku tiap harinya. Ditambah tugas essay perkuliahan Diploma Montessori yang juga butuh fokus tersendiri.
So, recently I live with words and writings. Jadi kadang otak terasa penuh. Panas setelah menulis kalimat demi kalimat. Berasa tidak sanggup lanjut menuangkan pikiran di blog, berasa kata-kata sudah terkuras habis.
Pagi ini menyempatkan nulis di blog. Karena pengen nulis yang sekenanya asal. Nulis seapaadanya mungkin. Nulis tanpa beban. Eh lah, berarti nulis buku itu beban?
Mmm ya, gimana yaaa 😛
Padahal awalnya, saya pikir bakal super lancar menulis buku, mau berapa bab atau halaman “gue hajar deh”. Weh, ternyata, bikin kepala senat-senut.
Writing goal, outline sudah dibikin rapih. Niat juga sudah bulat. Begitu masuk tahap menulis bab-bab awal. Wadaw. Semua pantangan saat menulis buku yang diwanti-wanti sama coach Surya Kresnanda, lah kok malah saya lahap semua.
Bagian terparah ini sih, -jangan ngedit pas nulis. Haram hukumnya! Eh, lah, piye iki! Dari mulai paragraf pertama sama terakhir di hari pertama deadline kirim naskah, semua saya edit. Mau dari katanya kek, kalimatnya kek. Sampai ke titik, koma, kena badai swasunting yang secara sadar saya lakukan :((
Saya pikir nih ya, karena sudah terbiasa -cas-cis-cus- nulis di blog, bakal melancarkan proses menulis buku. Tapi kenapa sensasinya bisa berbeda? Saat nulis blog, ya wes nulis aja. Pas nulis buku, hati-hatiiiiii banget! Malah terlalu banyak dipikir. Malah kebanyakan berhenti buat ngedit.
Ngedit ada waktu tersendiri loh. Wes, fokus nulis aja dulu, Na.
Ok, ok siap siap. Fokus nulis, sampai garis finish.
Eh, eh, tapi nih tapi ya, setelah nulis bab per bab, yang awalnya outline dari 17 bab, sempat berkembang ke 27, terus sekarang bakal mengembang lagi. Jadi keinget kata-kata fasilitator saya, Mbak Fina, “Yang penting, tiap bab masih berhubungan, kan, Bu?”
Nah, itulah kegalauan pagi ini. Meski saya sudah tidak sok-sok-langsung-edit seperti menulis di awal-awal, tapi di kepala bersliweran bab demi bab, yang mendadak bikin bertanya-tanya ke diri sendiri.
“Nyambung gak sih sebenernya?
“Ah, terlalu lebar ini, Na?
Tapi kalau dipersempit lagi babnya, terus perlu diisi apa lagi nih bukunya. Target minimal 80 halaman loh sebelum tahap swasunting.
Gubral Gubrakkkkk!
Pengen gitu macam buku Wahyudi Siswanto & David Ming, “Menulis Semudah Tersenyum”. Meski pernah beberapa kali bikin buku antologi, bikin buku solo memang berbedah sodara-sodara! Sempet agak gimana di awal, pas ditanya pemateri di pertemuan pertama Book Writing Camp #25,
“Siapa disini yang pernah nulis buku?”.
“Saya pernah buku antologi”.
“Kesampingkan dulu yang pernah membuat buku antologi. Ini yang buku solo”.
Juederrrr, berasa tidak dihargai, cuk! :))
Eh, tapi benerrrrr ternyata. Setelah masuk ke arena pertandingan menulis buku yang sesungguhnya, macam pertempuran dengan ide yang tidak ada habisnya.
Okayyyy, di tengah kemelut sambung dan tidak menyambungnya isi antar bab, saya akan terus lanjutkan proses penulisan buku solo pertama ini. Ingat, ingat, masih ada tahap swasunting dan direview oleh para coach. So, let’s continue this! Let’s do this. Bismillah 🙂