Ya, setidaknya itu yang ada di pikiran saya selama beberapa tahun terakhir. What? Berapa tahun memangnya candu dengan drakor? Eh buset! 4 tahunan ya ternyata. Tepatnya saat pandemi covid mulai yaitu di tahun 2020. Simple alasannya, bosan di rumah. Cari kegiatan lain yang kira-kira bisa dilakukan di rumah untuk menghilangkan jenuh, ibarat kata “healing-healing tipis” lah.
Anak-anak masih sekolah di rumah, wara-wiri pagi sore antar jemput pun tidak ada lagi selama pandemi. Freelance buat VO juga banyak stop selama awal-awal pandemi. Alhasil, saya yang awalnya anti-drakor, kok mendadak penasaran ingin mencicipi nonton beberapa episode dulu, hitung-hitung buat killing my time yang berasa selow banget selama di rumah terus sepanjang pandemi.
Kenal dengan film atau series korea juga awalnya malah dari suami. “Bunda udah nonton Train to Busan, Film Korea?”, tanya suami suatu hari.
Saya yang memang cukup skeptis dengan selain film hollywood, cuma mengernyit sambil saya bilang: “Film Korea? Seriusan?.
“Eh bener bagus, coba deh tonton”, ujar suami meyakinkan. Lalu malam itu juga saya nonton film Korea pertama, memakai laptop suami.
Yak, maaf saudara-saudara, saya pun lupa itu tahun berapa, yang pasti belum bermunculan semacam netflix dan kloningannya. Download subtitle lebah ganteng pun jadi andalan masa itu, meski gambar tidak terlalu tajam, tapi ternyata akting Gong Yoo dan alur cerita mampu membius saya. Dari mulai geregetan, sampai nangis bombay.
Setelah nonton Train to Busan, saya literally sudah tidak pernah lagi nonton atau tertarik perKorean yang lagi hits. Entah itu series maupun K-Popnya. Sampai pada masa pandemi masuk itu. Dari sebuah laman facebook, saya tidak sengaja membaca review Drakor “Go Back Couple” yang bercerita tentang time traveller, kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hubungan suami istri. “Wah, keknya bagus nih”, pikir saya. Seperti yang bisa ditebak, akhirnya saya nonton.
Tidak lama setelah setelah drakor pertama saya tuntaskan dengan derai air mata keharuan, pada masa pandemi muncullah series yang menyita perhatian banyak orang, yaitu The World of Married. Tanpa ba bi bu, saya langsung download VIU, bayar deh bayar, karena saya paling sebal nonton film dengan kualitas buruk. Lebih baik keluar kocek sedikit, tapi puas nontonnya.
Nah, setelah merampungkan series yang mengangkat perselingkuhan itu dan melambungkan nama Han So-Hee atas peran apiknya sebagai pelakor, saya lanjut nonton drakor-drakor lainnya. Terakhir nonton drakor itu memang makin berkurang, bahkan makin kesini seringnya saya skip dan percepat. Semacam sudah hapal dengan alurnya. Gitu lagi dan gitu lagi.
Mmm, anehnya, meski begitu-begitu melulu dan hampir selalu bisa ditebak, tapi saya kecanduan selama 4 tahunan loh! Memang awalnya nonton drakor hanya sekedar buat healing, seru-seruan, tapi saya pernah masuk pada fase tidak bisa mengontrol kapan harus nonton. Kadang sampai begadangan kalau marathon drakor dari episode awal sampai akhir. Ujung-ujungnya malah pagi yang harusnya segar bugar malah jadi lemes plus emosian.
Gimana tidak emosian? Kalau ngantuk dipadupadankan lelah, plus belum masak, belum cuci ini itu.
Akhirnya bukan healing yang didapatkan, tapi masalah emosi baru. Yaitu kecanduan drakor.
Sampai kemudian hampir sebulan ini, saya seperti merasa “B aja” dengan drakor. Saya masih nonton, itupun cuma 1-2x seminggu karena ingin menuntaskan Frankly Speaking, yang menurut saya kocak jalan ceritanya, lumayan lah buat ngakak-ngakak dikit. Nontonnya pun sekarang melalui TV bukan hp, dan karena TV adanya di lantai bawah, sementara kamar saya diatas, maka nonton juga sekedarnya, tidak fokus khusyuk seperti kalau nonton melalui layar smartphone.
So, siapapun yang mulai coba-coba nonton drakor, tapi belum bisa menikmati, mending stop sekarang juga. Kalau bisa memanage dengan baik waktu dan emosi nonton drakor, well it’s good for you, tapi kalau malah bikin jadwal dan mood berantakan, you know exactly when to stop!