Bangun tidur dini hari ini, sudah gemes rasanya, ingin segera menuliskan apa yang bersliweran di kepala. Setelah menyelesaikan 1 bab untuk solo book project yang saya kerjakan, rencananya ingin lanjut mind mapping tugas Montessori, tapi ide menulis blog sudah begitu meledak-ledak. Baiklah, mari kita eksekusi 😀
Kemaren sore, seperti sore lainnya yang cukup sering saya habiskan bersama Aga -my 2.5years boy- yaitu bermain ke blok bawah komplek karena lebih banyak anak kecil seusia Aga.
Hobby saya dari dulu adalah mengamati anak-anak, bahkan sejak sebelum saya menikah dan punya anak sendiri. Saya suka aja gitu, memperhatikan anak-anak bermain, dan utamanya cara mereka berbicara serta berinteraksi.
VOICE TONE
Ada 1 anak yang cukup menyita perhatian saya. Yaitu, voice tone anak tersebut. Mmm, apa itu voice tone? Actually, you can google it 😛
But, I’ll make it simple here.
Voice tone adalah semacam gaya atau nada suara yang merepresentasikan orang tersebut. Atau kalau dalam bidang voice over dan dubbing/ sulih suara, pastinya mengacu pada kemauan klien ataupun produksi suara yang ingin dihasilkan.
Kenapa saya langsung aware dengan voice tone anak tersebut?
Punya background sebagai penyiar serta pernah beberapa kali masuk di industri voice over dan menjajal kemampuan sebagai dubber, menjadikan telinga saya cukup sensitif saat mendengar seseorang berbicara.
Dengan pengalaman sebagai pengisi suara, saya juga jadi tertarik mengamati produksi suara yang dihasilkan seseorang. Termasuk ketika tanpa sengaja mendengar seorang anak berbahasa ^sama persis^ dengan para dubber ketika mengisi suara film kartun.
Tayangan youtube dengan sulih suara, sebenarnya adalah “gaya suara-bicara yang memang sengaja dibikin supaya terlihat menarik”. Tentu saja, bukan suara atau bicara yang natural, seperti halnya kita mengobrol dengan orang lain.
Actually, everyone has their own unique voice tone. Biasanya tidak jauh dari gaya berbahasa Ibu atau orang terdekat saat kita masih kecil.
Nah, bayangkan, apa jadinya jika voice tone anak-anak jaman sekarang banyak terpengaruh dengan tontonan dengan dubbing yang tidak natural.
Memangnya semua dubbing tidak natural? Ada kok, masih ada. Saya pernah belajar dari beberapa dubber senior. Mereka ini masih mempertahankan voice tone natural layaknya orang berbicara sehari-hari. Tapi dubber-dubber seperti ini, well, memang lebih mahal harganya. Sementara industri sulih suara, berjalan begitu cepat. Kebutuhan dubber luber, hingga segala kualitas pun diambil.
Yang terjadi saat ini, banyak tayangan memakai dubber dengan gaya bicara monoton dan natural. Seperti apa sih?
Coba deh, perhatikan kalimat ini: “Apakah kamu sedang baik-baik saja?”.
Kalimat biasa aja kan? Coba ucapkan beberapa kali, dengan beberapa intonasi suara berbeda. Atau kalau ada waktu, silahkan buka youtube sebentar, tonton salah satu serial anak yang didubbing ke bahasa indonesia. Lalu ikuti voice tonenya. Bandingkan dengan suaramu yang alami.
Can you feel it? Can you recognize it? Kalau kamu coba beberapa kali, kamu akan merasakan bahwa gaya bicara acara-acara youtube dengan sulih suara, bukanlah gaya kita berbicara sehari-hari, ekspresif, dinamis dan humanis.
YOUTUBE & PERKEMBANGAN BERBAHASA-BERBICARA ANAK USIA DINI
As we all know, nowadays, tidak jarang anak-anak usia dini, terpapar screentime begitu lama. Bisa jadi, interaksinya dengan youtube ataupun aneka game di dalam gadgetnya, lebih banyak dibanding interaksi dua arah dengan kedua orang tua dan orang-orang disekitarnya.
Saya sering menjumpai orangtua yang memberi komentar di akun sosial media para parenting enthusiast yang memberi reminder/ warning tentang bahaya screentime. “Anakku usia 2 tahun, baik-baik aja kok nonton youtube tiap hari. Malah jadi jago ABCD, bisa nyanyi bahasa inggris, bisa warna, angka, dll”.
Dalam perkuliahan Filosofi Montessori bersama Miss Rosalynn Tamara, dijelaskan tentang anak-anak yang tidak mengalami speech delay meskipun dalam kesehariannya menonton tayangan youtube. Anak-anak ini memang terlihat normal-normal saja. Bicaranya pun banyak. Kosakatanya berlimpah mengikuti apa yang sering ia tonton.
Hanya saja, Miss Rosa mempertanyakan kembali,
“Apakah anak-anak dengan screentime berlebihan seperti ini, melakukan kontak mata saat berbicara?. “Apakah mereka bisa berinteraksi dengan baik, misal memberi jeda dan mendengarkan ketika orang lain berbicara, ataukah nyerocos tanpa henti?.
Tontonan seperti yang ada di youtube, memang tampaknya mengedukasi. Memberikan banyak ilmu ke anak-anak. Tapi kadang kita lupa, kalau tayangan di televisi hanya 1 arah. Sekeren apapun acara-acara dalam program Miss Rachel atau Blues Clues yang berusaha menampilkan interaksi 2 arah dengan penontonnya, tetap saja ini sebenarnya hanya berlangsung 1 arah saja.
Itulah yang saya perhatikan pada salah satu anak tetangga yang tampaknya pintar berbahasa dan berbicara, tapi voice tonenya seperti kanal youtube anak-anak.
Anak-anak yang terlihat jago berbahasa, tapi tidak dengan ekspresi yang muncul pada mata dan mimik mukanya. Anak-anak yang kelihatan keren menguasai banyak kosa kata, tapi tidak paham kapan harus berhenti bicara. Anak-anak yang tampak hebat dengan rangkaian kalimat baku yang diucapkan, tapi semua intonasinya datar, tanpa ada *emosi-senang-sedih-antusias*.
Anak-anak usia dini, mereka yang sedang berlatih berbahasa dan berbicara, bukanlah televisi yang bisa kita turn-off pakai remote setiap saat.
Bisa saja, orangtua kesal dengan anak yang berbicara terus menerus. Tapi itu tidak mungkin kita lakukan ke anak, ketika mereka tampak tidak terkendali saat berbicara.
Bahkan, ada tetangga di komplek depan rumah, yang anak-anaknya mau dimanapun berada, baik di rumah ataupun sekolah, gaya bicaranya persis plek ketiplek seperti Upin Ipin. Karena memang setiap hari, si kakak beradik ini nontonnya tayangan tersebut.
Bolehkah, kalau saya merasa miris dengan fenomena ini?
Karena orangtua dengan anak-anak yang terpapar bahasa dan bicaranya ala-ala dubbing youtube, rata-rata merasa bangga dengan kemampuan anaknya. Tapi jika ini dibiarkan, artinya anak-anak bisa tumbuh dengan generasi tanpa empati.
Maria Montessori menegaskan bahwa perkembangan berbahasa dan berbicara anak-anak, sangat bergantung pada lingkungannya. Apalagi anak usia 0-6 tahun, mereka menyerap segala sesuatu di sekelilingnya, dengan mudah, tanpa usaha. Apapun yang ia lihat dan dengar, akan menjadi pengalaman dan itulah yang mengkonstruksi dirinya. Itu pulalah yang bisa “stay forever” sebagai karakter (London Lectures 1946).
Ngeri. Itu satu kata yang bisa saya ekspresikan melihat fenomena ini.
Bagaimana tidak, kalau generasi bangsa ini ke depannya adalah generasi yang hanya bisa bicara dengan gaya monoton, berbahasa tanpa rasa, dan berinteraksi tanpa jiwa?
Sebelum semuanya terlambat, and I do really it wont be happened, tugas sederhana kita sebagai orangtua, guru, dan pendamping tumbuh kembang anak adalah, adalah punya minat berbicara pada anak. Secara antusias pula kita dengarkan anak dengan sungguh-sungguh saat mereka menyampaikan pendapat mereka. Saat anak terbata-bata dengan kosakata pertamanya, tunjukkan bagaimana kita mengapresiasinya.
Perkembangan bahasa pada anak tidak lahir dengan sendirinya, butuh perjuangan dan proses untuk membangunnya. Sudahkah kita, memberi ruang dan kesempatan untuk anak belajar dan menyerap bahasa dalam lingkungan orang-orang dewasa yang juga berbahasa secara baik, benar, dan bernilai sopan santun?