Tahun baru, tahun yang baru. Apakah harus selalu disertai dengan semangat baru? Mmm, I mean, kalau kita masih tetap berada di semangat lama, which is fine, nyaman dan sudah tertata, haruskah kita merubahnya?
Hey, bukan merubah, mungkin maksud orang-orang itu adalah upgrade! Level Up! So, hidup gak disitu-aja gitu loh!
Ya, selama lebih dari 43 tahun hidup, barangkali hampir 5 tahunan ke belakang, hidup saya jarang sekali bersentuhan dengan resolusi. Semacam mengalir begitu saja. Why? Bisa jadi, karena beragam pengalaman akan kegagalan, yang akhirnya membuat saya, ya wess hayuk jalanin aja tahun ini. Pasti ada senangnya, pasti ada sedihnya juga. Berusaha menerima segala hikmah dengan apa adanya.
Haduh, gak nyaman ya menerima segala sesuatu yang terjadi dengan apa adanya.
Apa adanya? Ikhlas gitu kali ya maksudnya? Mmm, bisa jadi demikian. Tapi yang jelas, mengikhlaskan segala kesempatan yang terlewat begitu saja, tampaknya jauh lebih sulit dibanding dengan merutuki keputusan yang terburu-buru diambil.
Menjadi Ibu, Pribadi Yang Berbeda?
Buat yang mengenal saya di zaman SMA dan kuliah, pasti paham benar, bahwa saya adalah sosok yang sangat percaya diri. Jago debat, termasuk juga jago memperjuangkan goal setting. Semua terasa on the track, sampai-sampai seorang teman bilang, “Jalan hidupmu itu sudah terlihat ya Na, bakal mulus”. Ya, I thought the same thing. Buat oalaaaaa, terutama sejak menikah dan punya anak, saya mengabaikan kebutuhan diri, yaitu sebagai Ibu seharusnya tetap menjadi diri saya sendiri. Tapi yang terjadi adalah, perlahan tapi pasti, saya tergerus oleh rasa ketidakpercayaan diri yang begitu hebat. Rasanya, tiap hal yang saya upayakan, berantakan. Hanya bisa mengecewakan suami yang sudah mensupport habis-habisan. Belum mampu memberikan yang terbaik ke Ibu saya maupun Papa Mama mertua.
17 tahun menikah, entah berapa belas tahun, yang tanpa disadari, ternyata terjebak dengan emosi negatif yang saya bangun sendiri dengan begitu kokohnya. Sampai suatu ketika, anak perempuan saya, my only daughter, my middle sweetheart bilang, “Aku pengen Bunda kayak dulu lagi, ceria, semangat”. Kalimat ini sekaligus teguran, kemana saja ya saya selama ini? Terlalu asyik dengan drama sendiri sampai lupa bahwa ada suami dan anak-anak yang membutuhkan booster semangat yang sebelumnya sering saya berikan.
Hingga beberapa tahun lalu, saya tersadar, I am not the same person. Kemana perginya perempuan energik yang selalu percaya diri itu? Dimana bersembunyinya perempuan yang senantiasa semangat itu?
Segala kenangan dan pengalaman yang terjadi, barangkali inilah penyebab saya menjadi pribadi yang berbeda, yang takut membuat resolusi atas hidup diri sendiri. Selama berbelas tahun, prioritas saya hanya resolusi anak-anak dan suami. That’s it. My life’s only for them. Padahal, bertumbuh dan berkembangnya anak dan pasangan hidup, tidak jauh dari apa yang kita upayakan untuk diri sendiri.
Disinilah, lalu saya mulai mencari. Ya, proses pencarian diri kembali. Di usia yang sudah tidak lagi muda. Di usia yang kata orang-orang, “harusnya sudah sukses baik di karir maupun keluarga”.
Momfulness, Ibu Sadar Sesadar-sadarnya!
Bercerita melalui tulisan, ternyata adalah cara saya untuk kembali “sadar” dengan keberadaan diri. Pantaslah, bertahun-tahun saya meninggalkan aktivitas menulis baik itu di blog maupun buku harian. Sekedar corat-coret pun tidak. Malah asyik dengn scrolling media sosial yang tiada habisnya. Otak jadi kaku, pikiran jadi cupet. Disitu-situ aja.
Awalnya saya tidak menyadari, bahwa menulis adalah healing terbaik. Saya pikir ini adalah slogan doang. Eh, setelah memahami lebih dalam, ternyata buat saya pribadi, menulis menjadi satu wahana terbaik untuk merenung dan menyiasati kelemahan diri. Alhamdulillah, 2024 adalah sebuah titik balik, dimana saya menemukan kembali “jalan pulang”, jalan ke kesadaran diri. Salah satunya adalah melalui menulis. Almarhum Bapak, pernah bilang, “Tulis, Na”. Kalimat sederhana ini pernah beliau sampaikan saat saya cerita banyak hal ke Bapak. Beliau berpesan untuk menuliskan segala apa yang lewat di dalam pikiran, supaya jangan sampai ada yang terlupakan.
Bahkan Bapak, sepanjang hidup beliau, terutama sejak mulai bekerja, tumpukan buku agenda dengan catatan rapi penuh huruf tegak bersambung, memenuhi ruang kerjanya. Bukan hanya berisi tentang kegiatan kerjanya, tapi juga tentang Ibu dan anak-anaknya, diceritakan dengan bahasa yang begitu puitisnya, ya meski kadang dengan guyonan khas bapak-bapak yang garing tapi selalu lekat dalam ingatan.
Menjadi Ibu, saya juga butuh jadi Ibu berkesadaran sesadar-sadarnya! Anak-anak butuh ibu yang utuh. Suami butuh istri yang sanggup memeluk, segala suka maupun duka.
Resolusi sederhana tahun ini, siap kembali mengukir potensi yang sekian lama sudah tersembunyi. Bagaimanapun juga, tiap manusia hidup ingin hidupnya lebih berarti. Coba tanyakan ke diri sendiri, sudah sejauh apa kita kenal diri kita sendiri?