I think I need to write this down, so my head, actually my feeling could be cooleerrrrrr
Separation anxiety, kecemasan akan sebuah perpisahan dengan orang yang disayang. Gak cuma terjadi sama anak-anak, tapi juga Mak Emak dengan 3 anak seperti saya pun mengalami.
Beberapa waktu terakhir ini, dihantui rasa cemas karena si mbarep akan segera kuliah. Yang mungkin saja, bisa sajaaaaa he’s gonna be in Jogja, which is beda sekian ratus kilometer yaaaa. Kalau pas kepikiran, itu kok jadi saya mendadak galau. Kalau orang tua lain mungkin lebih takut, apakah anak akan bisa adaptasi, bisa survive gak ketika gak deket sama kita sebagai ibunya, atau khawatir dengan pergaulan anak nantinya ketika kuliah beda kota.
Well, yaaa, saya ada cemas tentang hal itu. But, honestly, lebih khawatir karena teman curhat berkurang satu. Huhuhuhuhuuuu. Yap, selama ini ternyata saya sebegitu dekatnya dengan anak-anak, terutama si mbarep yang kenal banget dengan karakter Bundanya ini. Malah perhatian dan rasa pedulinya melebihi ayahnya a.k.a suami saya #eh.
Semacam belum siap gitu, ketika jauh, dan cuma bisa nunggu kabar melalui pesan di WA ataupun video call. Serasa belum sanggup kalau beda kota, dan ketemunya beberapa bulan sekali.
Ditambah dengan saya dan suami LDM, dan si bungsu masih di usia dini, kalau boleh memilih, saya ingin sulung saya tetap di rumah sampai lulus kuliah S1. At least, adiknya yang paling kecil bisa mendapatkan sosok Ayah di kakaknya.
But hey, am I this selfish?
Sebegitu melekatnya dengan kehadiran anak sulung untuk tetap di rumah? Yang paling banyakkkk bantu Bundanya selama ini. Buang sampah, matiin mesin cuci, menuhin botol minum, jagain adiknya yang masih toddler, antar adiknya yang SMP, yangggg paling bisa kasih analisa dan strategi pas Bundanya lagi bingung ngebreakdown sebuah project, bahkan siap temenin Bundanya yang takut sama pergi ke tempat baru karena khawatir nyasar!
Eh bentar-bentar, setelah saya tuliskan, ternyata kemelekatan saya ke anak lanang mbarep, hanya beberapa hal aja loh ya. Tapi kenapa begitu intens rasanya? Padahal itu semua, bisa banget saya kerjakan sendiri.
So, it means ini bukan tentang perihal si sulung terbiasa membantu, tapiiiii lebih ke momentum emosional, saling ngobrolnya, kedekatannya.
Tapi ingat loh Bun, ini anak bunda adalah lelaki. Suatu hari menikah, dan punya kehidupan sendiri. Yes, I need more to aware on this.
Postingan ini, saya akhiri dengan mendadak ingat dengan sebaris puisi Kahlil Gibran…
“Anakmu bukan Anakmu…”
Anak pun semata-mata adalah titipan Allah, tugas kita mendampingi dan mempersiapkan mereka jadi manusia utuh yang mampu mandiri dan bermanfaat untuk lingkungannya.
Masya Allah, again, I’ve been healed by own writing!