Since I’ve Found You, Art Therapy

Bingung mau judul apa eui

Intinya mah gini, sudah cukup lama sih aku menyadari kalau mau nulis di blog itu butuh relaks dulu. Nah, jadi kalau baru gak aktif nulis lama itu sebenarnya bukan karena sibuk ini itu. Tapi mesti ada kondisi batin yang lagi ruwet. Sempet tuh pengen kayak beberapa orang yang bisa curhat blak-blakkan lewat blog atau update status sosial media/ WA. But well, I think It’s gonna hurt me more.

Setuju sama ilmu dari Kang Asep, kalau punya luka batin, terus kita kulik2 terus, ya bakal terasa sakit seperti luka setelah kena pisau, eh kok lukanya kita tusuk-tusuk lagi.

Ya mungkin bisa sih, dapet empati dari orang lain yang baca saat kita sharing permasalahan yang kita hadapi melalui dunia maya. Ya, tapi sepanjang lebar mereka kasih semangat atau nasihat, tapi kalau dari perspektifku, ini gak aman buat kesehatan mental kita. Apalagi mengumbar masalah keluarga, pertengkaran dengan pasangan, weh malah bisa-bisa jadi ruwet.

Rasul mengajarkan doa-doa tentang menjaga aib, kok malah kita mengumbar aib sendiri. Jamanne pancen jaman edyannn 🙂

Ehm, tapi kalau bagi sebagian orang, mengumbar aib itu bisa buat sembuh batinnya, ya monggo silahkan. Tapi kalau bikin makin sakit, masih mau dilanjutkan?

Saya sempat berpikir, wah gak efektif ini nulis blog. Mana healingnya? Wong mau curhat di blog sendiri, bayar sendiri aja, gak sanggup.

Sampai kemudian, saya menemukan art therapy beberapa waktu lalu. Pertama kali ketika sesi menulis buku antologi PULIH, bersama komunitas IIDN. Saat itu Mbak Intan, seorang psikolog, melatih kami para penulis yang terlibat untuk meggambarkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Gambar yang dituangkan pada 3 kertas berbeda ini menggunakan pensil warna, dengan memakai warna sesuai dengan suasana yang terjadi pada masa-masa yang digambarkan. Tentulah, situasi masa lalu, buatku, ternyata tergambar paling banyak memakai warna gelap. Dark banget lah pokoknya.

Setelah proses pembuatan buku selesai, sayangnya aku masih kurang paham dengan esensi art therapy saat itu. Sampai kemudian, suatu hari aku ikut kelas Art Therapy bersama seorang psikolog yaitu Annete Isabella. Then, I’ve found it, WOW! Ternyata, ini loh, Na, esensi dari art therapy sesungguhnya.

I wish I learn it deeper before.

Saat itu yang dipelajari adalah Clay to Clam, yaitu menggunakan media clay untuk mengekspresikan apapun emosi negatif yang bergejolak dalam diri saat proses art therapy. Selanjutnya, clay yang sudah terbentuk diberi warna, untuk lebih mengekspresikan lagi tentang bagaimana detail emosi yang dirasakan.

Black, surely, aku pilih warna itu dong. Some of it, it still here. Kuning, orange, putih, juga masuk, sebagai sebuah proses healing yang bertahap aku tempuh.

Setelah kelas usai, aku makin penasaran dengan art therapy itu seperti apa dan dimana bisa belajar lebih lanjut. So, with my limited budget, aku nekad mendaftar ke sebuah workshop art therapy berbayar 4 juta rupiah, yang akan berlangsung akhir bulan Juli 2024 ini. Nah, sambil menunggu kelas, aku saat ini belajar dari akun-akun yang memberi inspirasi tentang art therapy.

Memang kenapa sih, sampai segitunya pengen belajar art therapy?

Oke, plis baca lagi bagian awal postingan ini. Ternyata ya, setelah aku lalui beberapa sesi art therapy, aku bisa lebih menuangkan kata-kata lebih tulisan.

Pertama, lewat art therapy, kita gak perlu vulgar menceritakan apa masalah yang kita alami. Dengan menggambar, mewarnai, ataupun meremas-remas clay misalnya, otak memproses secara naluriah jalur masalah hingga bagaimana kita sanggup menerimanya.

Yang kedua, as you know, I am on the middle making my first solo book. Karena ini adalah buku yang berkaitan dengan inner child. Maka aku perlu banyak berkontemplasi dengan masa lalu. Sure, it’s not easy at all. Dalam beberapa sesi menulis bab, aku tertrigger untuk menangis.

Nah disinilah art therapy bekerja. Bisa sebagai titik nolku lagi. Bisa bikin emosiku netral lagi. Termasuk membantu membuka sumbatan ide, ketika mau meneruskan tulisan.

Bahkan dengan art therapy, aku seperti menemukan diriku yang dulu. Yang penuh semangat dan percaya diri.

Thanks to myself, Thanks to Allah, memberiku kesempatan berjalan menggapai pulih. Belum 100%, masih ada yang mengganjal. But, I believe, sooner will be better. Insya Allah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *