Satu lagi kesadaran diri yang terbuka melalui Talents Mapping, kali ini bersama Mbak Ira, yang membuat saya menyadari satu hal penting.

“You’ve done too much, Mbak”

Sebuah ‘tamparan’ manis dalam sesi menyejukkan bersama founder dari Humana Consulting ini.

Mbak Ira, atau kebanyakan dari kami para praktisi memanggilnya dengan sebutan “Teh Ira”, adalah salah satu yang saya anggap sebagai mentor Talents Mapping yang mantap saya -kupas ilmunya secara mendalam- sejak Juli 2024.

Dalam hidup, kadang kita tidak pernah menyadari, bahwa etape yang kita lalui, memang ternyata membentuk diri kita hari ini. Seperti halnya, kenapa saya, si anak bontot, sedari remaja “sering ngotot” atau bahasa lebih halusnya “terlihat selalu semangat”. Tapi di sisi lain, kenapa saya juga mendadak minder ketika merasa kalah oleh orang lain? Padahal itu dalam konteks feeling aja kan? Belum tentu yang sesungguhnya terjadi.

Terlahir sebagai anak terakhir, saya sering dibilang beruntung oleh kakak-kakak saya, karena Papa sudah tidak ‘segalak’ sebelum-sebelumnya. Kakak pertama saya pernah mengalami gitar dibanting sama Papa, karena dianggap menghabiskan waktu genjrang-genjreng -gak jelas-

Kakak kelima saya, kakak yang persis diatas saya, pernah dikurung hanya gara-gara nilai kurang bagus.

Sementara saya? Satu-satunya yang saya ingat, zaman masih usia dibawah 5 tahunan, saya pernah menangis hampir seharian. Ternyata rengekan saya ini cukup memicu kemarahan Papa, dan di saat itulah sebuah gebyok kasur meluncur ke pantat dengan beberapa kali pukulan. Selebihnya, memori saya dengan Papa justru banyak yang bagus-bagus saja. Papa tidak pernah komplain dengan nilai sekolah saya yang termasuk B aja, mengajak saya jalan berdua ketika Mama baru arisan, terrmasuk hobby saya menuangkan segala rasa melalui tulisan, ini juga salah satunya Papa yang memberikan saran sekaligus inspirasi.

Lalu, apa yang membuat saya semacam “too much” ketika mengupayakan sesuatu hal dan berakhir dengan “overwhelmed”?

Nah, ini yang saya suka dari menulis, it’s kind of a therapy for me. Suka mendadak terurai dengan sendirinya, apa yang menyebabkan kemacetan berpikir ataupun kebuntuan mengenali emosi.

Setelah sesi bersama Mbak Ira, dan saat mulai mengetik paragraf awal postingan ini, terbersit bahwa ternyata selama ini saya sangat takut gagal. Why? Kalau dulu saya menganggap, hal tersebut karena saya takut tidak bisa perform secara maksimal, tapi setelah breakdwon pikiran melalui tulisan, saya jadi menemukan hal menarik.

Kakak yang persis diatas saya, selalu punya prestasi luar biasa selama di sekolah. Juara ini itu, ikut paskibra sampai tingkat propinsi, kuliah di UGM, lulus tercepat-termuda-terbaik, belum lulus kuliah sudah diterima kerja di sebuah perusahaan asing bergengsi. Sementara saya? Nilai pas-pasan. Lulus SD tercepot-cepot mencari SMP Negeri karena nilai mepet, eh cari SMA juga begitu lagi ritmenya, bahkan tidak lolos UMPTN. Hmm, jomplang banget ya?

“Kok bisa sih Na, fisika kok dapet 6.. Mas aja dulu paling rendah, nilai itu 8 loh. Coba kalo Papa masih ada, pasti kamu dimarahin”, ejekan itu yang sering diulang-ulang kakak saya ketika nilai saya jeblok.

Sampai pada suatu masa, Allah memutar balikkan segalanya. Kakak yang terang benderang, makin meredup, buah dari perilakunya sendiri. Keluarga dan karir, bubar jalan semuanya. Bahkan relasi dengan Mama dan kami keluarganya, bisa dibilang super duper minim.

Meski saya sudah bisa berdamai dengan tabiat kakak saya, tapi rupanya, ada luka inner child  yang masih tersisa. Yaitu ketakutan ketika “diejek” lagi karena gagal. Rupanya tanpa sadar, keinginan untuk berusaha semaksimal mungkin, yang bikin diri saya sendiri jadi kepayahan, adalah sisa-sisa dari goresan masa lalu. Takut kalah dengan kakak saya sendiri.

Sepanjang yang saya ingat, baik Papa maupun Mama, tidak pernah sekalipun membanding-bandingkan kami anak-anaknya, lantas kenapa saya jadi overthinking? Setelah saya pelajari lagi, memang pola berulang dari “merasa tidak sepintar” seperti kakak saya, inilah yang membuat saya bisa mendadak keluar dari mindful state.

Pola berulang dalam Talents Mapping, sangat mempengaruhi dewasa atau tidaknya bakat kita. Segala perasaan-perilaku-pikiran yang terjadi dalam repetisi intens inilah, yang membentuk pribadi seseorang.

Yaaa Allah, aku terima rasa ini, rasa takut akan gagal, rasa khawatir mengecewakan orang-orang tersayangku. Melalui tulisan ini, aku sadar sesadar-sadarnya, bahwa tidak ada manusia yang sempurna, termasuk diriku sendiri. Menerima rasa ini, artinya aku juga siap menyambut segala rasa tenang dan nyaman yang hadir melingkupi. This is my life, this is my journey. I am the master of my mind. Terimakasih Ya Rabb.

Terimakasih Ya Allah, sudah mempertemukan dengan Talents Mapping, dengan Mbak Ira, one of my best mentor, membuat diri ini merasa lebih berharga dan berkepenuhan.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *